masukkan script iklan disini
Globalfaktual-com - Jakarta, –Tokoh dan Masyarakat Sipil secara resmi menyatakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang dalam proses penyusunan. Dalam acara yang dipimpin oleh Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A., para peserta menyampaikan bahwa revisi UU TNI tidak hanya tidak urgent, namun juga berpotensi mengembalikan praktek dwifungsi TNI di Indonesia.
Acara ini juga dihadiri oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan : SETARA Institute, Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, Dejure.
Prof. Sulistyowati menegaskan bahwa TNI seharusnya hanya fokus pada tugas pertahanan dan perang, bukan pada fungsi sipil. "Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih untuk perang, bukan untuk duduk di jabatan-jabatan sipil," ujarnya.
Dia juga menyoroti bahwa revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi yang diperlukan untuk meningkatkan profesionalisme TNI. Sebaliknya, kata dia, pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang lebih penting untuk mewujudkan persamaan di hadapan hukum bagi semua warga negara.
Dimas Bagus Arya dari Kontras menambahkan bahwa revisi UU TNI akan memperluas penempatan anggota TNI aktif di berbagai jabatan sipil, seperti di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Ini adalah contoh nyata dwifungsi TNI yang tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme," katanya. Dia juga menegaskan bahwa pelibatan TNI dalam penanganan narkotika melalui model "perang" dapat menyebabkan kekerasan berlebihan, seperti yang terjadi di Filipina pada masa pemerintahan Duterte.
Selain itu, Petisi ini juga menyoroti bahwa revisi UU TNI akan menghilangkan peran DPR dalam menyetujui operasi militer selain perang (OMSP), yang seharusnya diatur melalui keputusan politik negara. "Ini adalah upaya untuk mengambilalih kewenangan wakil rakyat dan menghilangkan kontrol sipil atas TNI.
Tokoh dan Masyarakat Sipil bjuga menuntut agar semua pelanggaran terhadap UU TNI selama ini dievaluasi dan diterbitkan ulang. Mereka mendesak anggota TNI aktif yang duduk di jabatan sipil tanpa mengundurkan diri terlebih dahulu, seperti Letkol Tedy sebagai Sekretaris Kabinet, untuk segera mengundurkan diri. Mereka juga menyerukan agar semua kerjasama TNI yang didasarkan pada Memorandum of Understanding (MoU) yang memungkinkan militer masuk ke ranah sipil ditinjau ulang.
Prof. Sulistyowati dan Dimas Bagus Arya sepakat bahwa revisi UU TNI tidak hanya tidak bermanfaat, namun juga berbahaya bagi negara hukum Indonesia. Mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk fokus pada modernisasi alutsista, meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI, dan memperhatikan keseimbangan gender dalam organisasi TNI.
"Kami menolak revisi UU TNI karena mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia," tegas Prof. Sulistyowati. "Kami mendesak pemerintah dan DPR untuk menolak DIM revisi UU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR"tegasnya.
(Red)